Senin, 03 Mei 2010

Cerpen

PETI MATI ITU

Hari selasa awal bulan Desember tahun yang lalu pagi – pagi benar aku meluangkan waktu untuk bersilaturahmi ke rumah Pak Karto Diharjo seorang tukang kayu dan ahli ukir – mengukir. Rumah Pak Karto Diharjo tampak sepi walaupun pada waktu itu dalam suasana lebaran. Anak – anaknya merantau dan tidak ada yang pulang. Rumah itu sepi bagai kuburan yang angker, jarang orang yang datang ke situ, paling kalau ada orang yang akan minta tolong saja. Halaman rumahnya ditumbuhi semak belukar dan ada pohon beringin yang cukup besar. Konon ceritanya ia seorang tokoh golkar pada masa itu, sehingga begitu cintanya ia menanam lambang partai tersebut. Bahkan sampai sekarang beringin itu masih tampak rimbun.
Pak Karto dulunya merantau ke jepara kota ukir. Ia sudah puluhan tahun berada di jepara, baru beberapa tahun ia pulang ke desanya, yaitu kampung Mojomulyo. Ia merantau sebenarnya tidak sengaja, ia merasa malu karena pada waktu itu ia seorang keluaran Nusa Kambangan, karena ia dituduh seorang PKI. Ia diciduk karena ia ikut tanda tangan dan membantu beras orang – orang PKI pada waktu itu.
Pak Karto seorang anak Ustad terkenal di kampungku, ia rajin mengaji dan berdakwah bahkan pada waktu ia di Nusa Kambangan ia menjadi guru ngaji bagi napi di pulau itu. Ia mendapat remisi dan akhirnya sampai bebas.
Aku dipersilakan duduk di kursi ukir buatan sendiri. Setelah berbasa – basi aku berani juga ngomong.
“” Pak, tolong dibuatkan sebuah peti mati “, kataku lirih.
Pak Karto tersentak heran. Dia balas bertanya, “ Bukankah di Rt. 3 tidak ada orang yang mati ? “
“” Memang tidak ada, tapi ……. Tapi, aku berhenti sejenak dan menguatkan hatiku, untuk persiapan “.
“” Persiapan, siapa ?”
“” Persiapan ayah saya “.
“” Lho apa – apaan ini, masak mati kok pakai persiapan segala, memangnya sudah tahu kapan mau mati “, kata Pak Karto agak heran.
“” Bukan begitu maksudnya, ini sesuai dengan pesan ayahku, jika ia mati kelak ia minta dikubur dengan peti mati dari kayu jati tanaman sendiri, sedangkan pohon jati di sebelah rumah itu sudah ditebang satu tahun yang lalu, saya pikir lebih baik jika dibuat peti mati sekarang, “ begitu penjelasanku “.
Pak Karto mengangguk mengerti dan sekaligus tanda ia menyetujui usul itu. Ia bergegas ke belakang mengambil meteran, pensil dan kertas catatan.
“” Baik sekarang kita buat ukuran petinya “. Kata Pak Karto.
Ia mengukur tinggi badannya, karena tinggi badan ayahku tidak begitu jauh berbeda dengan tinggi badan Pak Karto. Aku merinding juga begitu Pak Karto mengukur tinggi badannya. Terbayang olehku seorang yang berada didalam peti mati . Padahal kini ayahku masih segar bugar. Aku membayangkan iring – iringan orang membawa jenazah dari rumahku menuju ke pemakaman. Dan iring – iringan itu sangat panjang bagaikan Liong yang dimainkan oleh warga Tiong Hoa pada waktu tujuh belasan. Dan jenazah itu diiringi dengan solawat Nabi. Keluargaku tampak ikhlas dengan kepergian seorang pimpinan keluarga yang sangat disayanginya. Sanak saudara dan handai tolan mendoakan semoga arwahnya diterima di Sisi-Nya. Aku terperanjat begitu Pak Karto menanyakan kapan kayu itu bisa diambilnya.
“” Hei jangan membayangkan yang tidak – tidak, “ Tegurnya.
“” Bagaimana kalau panjangnya 165 cm, lebar 55 cm, dan tinggi 57 cm.
Aku terperanjat dan asal jawab saja.
“” Ya, ya itu pasti pas, “ Kataku sekenanya.
Peti itu pasti dilihatnya setiap hari, karena peti itu disimpan di atas para – para dapur. Ayahku setiap pagi harus ke dapur untuk merebus air untuk mandi pagi dan sekaligus mempersiapkan minuman kesayangannya. Minuman kesayangan ayahku air jahe dicampur dengan kopi sedikit. Jahe bubuk itu yang membuat istriku. Setiap pagi dan sore hari. Sambil melihat peti kebanggaannya kadang Pak Haji Suto mengelus peti itu sambil bergumam “ Wah anakku kau memang anak yang patuh kepada orang tua, kelak kau akan menjadi ahli surga seperti ayahmu ini. Peti inilah yang kelak akan membawa aku keliang lahat jika jiwaku merenggang dengan badanku “.
Peti itu dapat dibongkar dan dipasang dengan cepat. Peti berukir dan bertuliskan “ Inna lillahi wa ina ilallahi rojiun “ tampak kekar, karena dipelistur dengan warna coklat tua.
Udara terasa dingin dan sedikit berkabut. Bulu tanganku tampak sedikit berdiri. Entah hari itu tampak tidak seperti hari biasanya, barangkali masih suasana lebaran. Tetapi anehnya tidak seperti hari – hari biasa. Hatiku tidak enak serta ada sesuatu yang aneh. Aku merenung sendiri dan tidak ada jawaban dalam diriku. Kucoba dengan pekerjaan sekenanya. Aku menyapu lantai, kemudian membersihkan meja dan kursi, tapi masih juga ada getaran yang tidak bisa membuat tenang.
Entah apa yang mendorong hati ayahku untuk menurunkan peti mati itu dari para – para. Mula – mula diambilnya bagian dasar lalu dielapnya dengan kain hangat yang halus. Lalu dirangkainya bagian dasar itu. Sebentar ia memandanginya lalu tersenyum sendiri. Pikirannya mulai larut terbawa oleh khayalan barangkali. Sebentar kemudian diangkatnya bagian yang memanjang samping kiri di elap juga dengan kain hangat itu. Ayahku tersenyum lagi sambil mengangguk tanda mengerti. Bagian itu dipasangkan dengan bagian dasar yang telah terangkai. Tampak bagian yang memanjang itu berdiri dengan kokoh. Ia kembali tersenyum seorang diri dan dianggukkannya kepalanya tanda telah selesai dan merasa puas. Bagian yang memanjang bagian kanan, kini mendapat giliran untuk dielus dan dielap dengan lembut. Elapan itu sangat halus seperti menyayangi binatang – binatang kesayangannya. Lalu dirangkainya bagian itu tampak kokoh. Sampai di situ ayahku berhenti sejenak. Entah apa yang menjadi pikirannya sulit untuk diterawang. Ia berdiri tegak dan sedikit mundur lalu dipandanginya peti yang belum semua terangkai itu. Ia kembali tersenyum, senyuman kali ini penuh misteri. Kedua bagian sisi kanan dan kiri diangkat lalu dielapnya dan dipasangkan pada kedua bagian yang memanjang, Kini peti mati itu sudah terpasang. Kembali bagian tutup diambilnya satu persatu diusapnya dengan halus. Bagian tutup telah terpasang dengan rapi. Ayahku tersenyum puas. Mula – mula dipandanginya dengan penuh kekaguman lalu dirabanya peti itu. Dari bagian bawah dan pelan – pelan dan berhenti, dirasakannya tonjolan – tonjolan itu. Dirasakannya betul tonjolan itu, dirabanya dan stop. Ayahku merasakan getarannya. Getaran halus yang terjadi pada saat tangan itu menyetuh benda keras yang tampak lembut itu. Diejanya satu persatu tulisan arab yang berbunyi Inna lillahi wa ina illahi rojiun. Ia akan kembali ketanah karena ia dibuat dari tanah.
Ayahku seolah – olah tersihir oleh kemilaunya sinar yang dikeluarkan oleh peti mayat itu. Ayahku sudah mulai kehilangan kesadarannya. Kakinya satu persatu masuk kedalam peti mayat itu, lalu perlahan – lahan ayahku mengangkat bagian tutup itu dan secepat kilat ditutupkanya tutup itu dan krepp ……… Gelap semuanya, gelap dan serba gelap bagaikan di dalam gua. Tanpa sedikit sinarpun yang masuk kedalam peti itu. Hanya seolah – olah di kejauhan sana ada orang – orang yang menjerit kesakitan karena disiksa oleh orang yang sangat tinggi dan besar. Orang – orang itu disuruh menjulurkan lidahnya lalu dipotong dengan gunting besar. Ada yang dipotong tangannya, atau dipukul kepalanya dengan gada yang membara. Tetapi nun jauh di sana ada setitik api yang menyala. Entah beberapa ratus mil jaraknya. Serombongan orang sedang berjalan menuju kesana.
Ibuku menjerit menyaksikan kejadian tragis itu, ia menjerit sejadi – jadinya …………. Ayah ………. Ayah ayaahmu aaaddaadadadda didi dalam petttti dan lari memanggil kakakku. Kakakku lari segera datang ke dapur. Dan kakakku melongo tak bisa berbuat banyak. Hanya ucapan Astagfirllah Hal Adhimmm … Ayahku tetap tak bergeming dan tak bersuara apapun didalam peti mati itu. Ibuku menangis sejadi- jadinya. Pagi itu Mojomulyo gempar karena ayahku masuk peti matinya.


Bumiayu, 1 Oktober 2002
Drs. Eko Priyono
Guru SMU Negeri 01 Bumiayu
Jl. P. Diponegoro 2 Bumiayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar